Pagi ini hujan rintik-rintik turun, hingga membuat pelataran rumah seluruhnya basah. Gina hanya dapat termenung menatap genangan air di beranda rumahnya. Teringat akan kejadian semalam . Yang membuatnya kali ini harus berpikir keras, mengambil sebuah keputusan. Dia genggam erat gantungan kunci berbentuk separuh hati dengan perasaan galau, teringat akan separuhnya lagi yang dimiliki seseorang. Yang tengah dipikirkannya. Mantan kekasihnya....
>.<
Kejadian semalam....
“Makasih ya Ji, udah mau direpotin sama aku.” Ucap Gina seraya memakan bakso yang ada di hadapannya.
“Nggak papa, aku seneng direpotin sama kamu...” Aji tersenyum sambil menatap gadis itu. Gina menunduk tak berani menata sepasang mata elang itu. Gina menetralkan hatinya, menarik nafas panjang sebelum dia berkata-kata.
“Aku janji ini terakhir kalinya aku minta pertolongan kamu.” Ucap gadis itu yang mulai membuat Aji merasa tak nyaman.
“Gin, aku sudah bilangkan, aku selalu siap buat ngebantu kamu. Apapun itu, dan aku sama sekali nggak terbebani kok. Aku seneng kalau bisa berguna buat kamu...” Aji mengatakan itu dengan caranya yang selama ini Gina tau. Yang berbulan-bulan yang lalu pernah mengisi harinya. Tapi dia telah mengambil keputusan, dan itu nggak mudah untuk dirubah.
“Nggak Ji, aku nggak bisa kayak gini terus. Aku pengen bener-bener bisa ngelupain kamu. Semuanya udah selesai... Aku cuma masa lalu buat kamu. Seharusnya kamu lebih meluangkan waktu buat Febi.” Gina mengatakan setiap kata itu tanpa pernah menatap Aji. Tangannya menggenggam erat garpu serta sendok, berharap rasa gundahnya bisa menghilang. Aji tak kunjung berbicara dan itu membuat Gina semakin gundah gulana.
“Berapa kali sih Gin aku harus bilang sama kamu. Kalau aku sama Febi tuh nggak ada hubungan apa-apa! Sadar nggak sih kamu. Kalau selama ini aku bener-bener serius ngejalani hubungan sama kamu...” Aji sedikit membentak namun tetap menjaga suara agar tidak terdengar oleh yang lain. Gina tertegun menatapnya.
“Ji. Kita udah selesai ngomongin masalah ini dua bulan yang lalu ya. Aku nggak mau lagi memperdebatkan hal yang udah jelas terjadi.” Gina beranjak dari duduknya menyamber tas serta bukunya dari atas meja.
“Makasih banyak udah mau nemenin aku malam ini. Dan aku janji obrolan seperti ini nggak bakalan terjadi lagi.” Dia menuju kasir lalu membayar makanannya disusul oleh Aji yang berkali-kasli memanggil namanya. Dia tidak menghiraukan hal itu. Terlalu lelah mengulang lagi hal yang sudah berlalu.
“Gina... Gin... dengerin aku dulu dong, kamu nih kebiasaan kalau di panggil nggak pernah nyahut.” Gina tau Aji bakalan mengikutinya, seperti yang dia hafal. Tapi tidak kali ini dia harus tegas mengambil keputusan.
“Kamu yang kebiasaan Ji, kenapa sih nggak bisa biarin aku nentuin pilihan?! Kamu selalu nggak setuju sama apapun keputusan aku!” Aji kaget mendapati Gina berbalik lalu menyemprotnya dengan kata-kata seperti itu.
“Kalo kamu mau menentukan pilihan, kamu harus tau apa masalahnya... jangan asal-asalan gitu dong.” Ujar Aji.
“Aku nggak pernah asal-asalan!” Gina semakin gondok.
“Oke, apa namanya kalo bukan asal-asalan. Kamu mutusin aku tanpa sebab hanya karna aku goncengan berdua bareng Febi? Udah jelaskan kalo Masnya tuh cuman pengen aku nganterin Febi ke tempat lesnya. Kamu tuh terlalu cemburu buta tau nggak.”
“Oh ya? Nganterin les tapi pelajaran belum selesai kamu udah ngajakdia maen ke pantai?! Seneng-seneng terus ketawa-ketawa sama dia. Apanya yang kurang jelas??! Semua tuh SANGAT JELAS.” Gina mati-matian mengeluarkan suaranya yang mulai menghilang karena menahan tangis. Aji mendekatinya menyentuh kedua pundaknya dengan lembut. Gina tak mampu menatapnya. Tidak dengan keadaan seperti ini. Saat dia mulai bisa melupakan cinta yang dulu ada untuk Aji. Dia tidak mau mengulang kesalahan yg sama.
“Gin....”
“Udah deh Ji semuanya udah selesai. Aku nggak mau mempersalahkan ini semua. Kita cuman temen sekarang. Aku salah udah minta bantuan sama kamu kalau akhirnya kayak gini.” Hanya suara pelan yang dapat keluar dari bibirnya. Aji terdiam.
“Nggak kamu nggak salah... Mungkin aku yang salah karena udah terlalu banyak berharap sama kamu...” Aji melepaskan Gina, kali ini Gina yang menatap cowok itu berusaha menemukan mata elangnya yang tertutu cahaya remang.
“Apa semuanya nggak bisa diperbaiki lagi Gin... Aku bener-bener nggak bisa kehilangan kamu. Semuanya kacau tanpa kamu.” Aji menunduk kali ini tembok ketegarannya runtuh sudah. Gina menatapnya lalu membuang pandangan menuju jalan-jalan yang ramai. Ini salahnya karena meminta bantuan pada Aji. Membuat mantannya itu beranggapan, itu harapan baru untuknya.
“Aku mau pulang. Anggap aja hal ini nggak pernah terjadi... Makasih” Gina mengucapkan kata terakhir dengan nada bergetar segera berbalik arah karna air matanya tak terbendung lagi. Meninggalkan Aji yang menatapnya dengan penuh harapan. “Gin aku masih sayang sama kamu!” teriak Aji yang berkali-kali memanggil namanya. Namun Gina tak ingin berbalik dia tak ingin Aji melihatnya. Yang tengah menangisi kebodohannya.
Malam yang dingin berlalu, Gina menyusuri jalan. Angin musim dingin ini tak mampu menandingi dinginnya hatinya malam itu.
>.<
Tinggal 200 meter lagi menuju rumahnya, Gina menatap gang kecil di pinggir jalan yang diterangi lampu remang-remang. Enggan rasa pulang di malam minggu yang ramai ini. Apalagi dengan wajah kusut dan lembab sehabis menangis. Gina berbelok menyusuri gang itu. Menuju rumah kecil yang penuh dengan tanaman herbal. Dia tau si pemilik rumah pasti ada di dalam, tapi kakinya berhenti di gerbang kayu. Berpikir apakah ini adalah tindakan yang benar.
Ah... nggak Gin, kamu bener-bener bodoh melakukan hal ini... Batinnya. Namun saat dia ingin beranjak pergi ada suara dari dalam rumah yang memanggil namanya. “Gina kok nggak masuk?” ujar cowok yang tiba-tiba ada di balik pintu. Gina tertegun, tersenyum kepadanya lalu memasuki halaman rumah itu.
“Hai.” Hanya kata itu yang mampu terucap dari bibir Gina.
“Duduk.” Kata cowok itu sambil menunjuk ke kursi kosong di teras rumahnya. Cowok itu mengenakan kaos bali merah dengan celana di bawah lutut. Tampak ramah dibalik kacamata yang membingkai matanya. Memperhatikan Gina yang terlihat aneh. Yang diliatin cuman nunduk dan diam.
“Hey, kamu kenapa? Biasanya cerewet...” Akhirnya Rengga nama cowok itu memecahkan keheningan yang ada di antaranya. Gina menatapnya menetralkan nafasnya yang sedari tadi tak terkontrol.
“Aku nggak papa.” Ujar Gina hampir tak terdengar. Sulit rasanya untuk biasa saja di pertemuan mereka yang kedua itu. Rengga dan Gina bertemu saat mereka berlibur di Bali sebulan yang lalu, karna sandal mereka tertukar saat bermain flying fox di kute. Saat itu lah mereka bertukaran nomor telpon. Saling smsan, telpon-telponan, mencurahkan uneg-uneg mereka. Entah mengapa Gina bisa berani membuka semua masalahnya di depan cowok berkacamata itu. Rasanya dia orang yang tepat, dan bisa di percaya. Ya, itu keyakinan yang didapatnya entah darimana.
“Kamu kesini bukan buat diem kayak gitu kan?” Rengga menyibak rambut Gina yang menutupi wajahnya. Gadis itu kaget, lalu tersenyum. Garing.
“ Ya nggak lah... aku butuh hiburan ni, bete...” ujar Gina memelas pada Rengga yang saat itu tersipu melihat senyum gadis berlesung pipi itu.
“ Eh iya ke bukit yang kamu ceritain itu yuk??” Tiba-tiba Gina berkata dengan semangat.
“ Malam-malam begini? Kamu gak takut?” tanya Rengga.
“ Ah, ngapain takut, kan kita berdua...” Gina memelas lagi.
“ Tapi jauh lho Gin...” Rengga mulai pikir panjang.
“ Katanya dibelakang rumah kamu? Hmm boong ya..???” Telak Gina.
“ Ya maksudnya di belakang rumah itu beberapa meter masih... Tapi ayo deh, toh kamu jarang-jarang juga kesini.” Rengga beranjak dari duduknya disambut dengan senyuman lebar Gina. Dia lalu meninggalkan tas beserta Hpnya di meja kecil dekat situ. Lalu berlari mensejajari langkahnya dengan Rengga yang telah ada di luar pagar rumahnya.
“ Lambat banget sih..” Ujar Rengga. “Iya bentar raden... sabar...” Gina berjalan seraya mengikat rambut panjangnya. Mulai saat itu, tatapan Rengga tak dapat lepas dari Gina.
>.<
“Kenapa kamu berani kesini sama aku?” Tanya Rengga di antara gelapnya malam, ditemani suara jangkrik yang bersahutan. Dan keduanya yang tengah tiduran di padang rumput, menatap ribuan bintang yang sama-sama mereka kagumi.
“Kenapa aku harus takut?” Gina mengalihkan pandangannya yang menatap langit ke arah Rengga yang berbaring di sampingnya.
“ Kamu tuh polos apa bego sih? Sekarang liat deh kita... tiduran di bukit yang jauh dari keramaian, gelap, dan aku cowok kamu cewek. Kamu gak takut?” ujar Rengga dengan hati-hati. Gina terdiam, memikirkan jawaban yang tepat.
“ Jawabannya...... nggak tau.” Ujar Gina. Terdiam sejenak, “Nggak tau ya Ga, entah kenapa aku percaya aja sama kamu. Aku yakin aku aman. Hehehe”
“Aku bisa lho ngapa-ngapain kamu sekarang,” Rengga beranjak duduk dari posisinya. Reflek, Gina juga ikutan duduk lalu menatap cowok itu dengan ekspresi waspada.
“ Nggak, kamu nggak bakalan ngelakuin itu.” Gina tersenyum menatap cowok itu, seperti menantang. Rengga menatapnya, tidak sulit menangkap indah wajahnya di antara kegelapan itu. Tapi mereka tetap diam. Gina tak gentar memandang, menggoda cowok itu dengan tatapannya. Rengga pun jengah. Dia berdiri menatap lampu kota yang terbentang luas dihadapannya. Ini bukit yang yang sering dia ceritakan pada Gina, sekaligus tempat yang membuat Gina penasaran. Dan tempat itu memang sangat indah, pohon cemara tertanam luas di belakang mereka, rumput-rumput yang tumbuh liar membuat tanah itu empuk. Terlebih, dari sini, mereka bisa melihat ribuan bintang-bintang yang sangat mereka kagumi.
“Kamu nggak boleh seperti itu, harus waspada sama orang yang baru kamu kenal. Beruntung kamu sama aku kesininya. Kalau nggak, emh bisa-bisa nggak perawan kamu...” Kata Rengga dengan nada lembut, membuat Gina kaget dan malu. Apa jangan-jangan Rengga menganggapnya cewek murahan?
“ Aku juga nggak ngerti kenapa bisa percaya sama kamu, sejak awal. Bahkan sampai saat ini aku nggak tau alasannya apa. Yang aku tau, aku percaya sama kamu Ga, aku bisa cerita semuanya sama kamu. Tanpa takut kamu bongkar semua orang. Aku tau kamu bukan orang jahat.” Rengga menatap Gina saat dia berkata itu.
“ Kamu terlalu polos, terlalu mudah percaya sama orang lain.” Rengga menatap lekat mata Gina. Hingga membuat Gadis itu tak bisa bernafas. Perlahan Rengga mendekati gadis mungil di hadapannya. Kali ini dia sukses membuat Gina ketakutan. Dia membuka kaca mata yang sedari tadi bertengger di matanya. Menatap garang kearah Gina.
“ Ka.. kamu mau ngapain Ga?” Gina mulai panik lalu melangkah mundur. Rengga semakin mendekat dan tangannya menyentuh wajah Gina, dan mengarahkannya mendekati wajahnya. Gina berusaha menetralisir jantungnya yang berdegup kencang tubuhnya terasa kaku dan dia terperangkap dalam pesona Rengga yang sungguh tak terelakkan! Wajah mereka ssemakin dekat, dan Gina hanya bisa pasrah, dia menutup matanya rapat. Saat jarak mereka hanya 3 cm dekatnya. Rengga berbisik “ Muka kamu jelek banget pas lagi ketakutan” suara itu mengema di dalam pikiran Gina. Lama. Gina baru menyadari setelah 1 menit berlalu. Lalu dia membuka matanya lebar-lebar. Mendapati Rengga yang kini tengah menertawakannya.
“Hahahaha... Senggaknya aku bikin kamu takut kan???” Rengga menatap jail ke arah Gina, yang bener-bener ngerasa dikerjain.
“Renggaaaaa...” Gina berteriak sekuat tenaga dengan suara cemprengnya. Lalu mengejar cowok itu, berusaha menjitak kepalanya. Tapi ujung-ujungnya, malah dia yang dikejar-kejar Rengga. Lho?? Hehehe. Gina menyerah dalam kepungan tangan Rengga. Ralat, bukan karna tangannya. Tapi karna mata itu. Gina terkepung dan tak mampu melawan tatapan lembut di balik kacamatanya. Beberapa detik berlalu, dan mereka hanya bertatapan.
“Kamu sadar satu hal nggak Gin?” tanya Rengga. Gina hanya menggeleng dan tetap menatap cowok itu.
“ Kamu udah bikin bintang nggak lagi seindah biasanya. Karna sinarnya semua aku lihat dikamu...”
Gina mematung, hanya angin yang terdengar kala itu. Tak mengerti apa harus yg harus di ucap dari bibirnya.
“Eemmh.. sebenernya, aku pengen cerita satu hal...” Kata Gina memecah keheningan.
“ Cerita apa?” Tanya Rengga dengan suara yang mampu menenangkan hati ribuan cewek di dunia. Dia telah sering mendengarkan curhatan Gina.
“ Barusan aku habis adu mulut sama Aji...” Wajah Gina berubah menjadi muram. Sebelum menangapinya ucapan itu Rengga menarik nafas panjang, berusaha menekan rasa kecewa yang ada di hatinya.
“Kamu masih berhubungan sama dia?” Tanya Rengga tanpa menatap mata gadis itu.
“Aku minta tolong buatin proposal sama dia. Tapi, dia malah nganggep aku ngasih harapan . Padahal kan...” Tak sempat melanjutkan perkataannya Rengga menyela.
“ Kamu harus belajar buat nggak selalu menatap kearah dia. Dan waktu kamu lagi butuh bantuan kenapa pertama kali yang ada di otak kamu selalu nama dia?” Ujar Rengga menatap jauh kearah kelip kota di bawahnya.
“Karna aku rasa cuman dia yang selalu ada...” Jawab Gina lirih menyadari sesuatu hal yang ada jauh di hatinya.
“ Kamu harus belajar Gin...” kata-kata Rengga terhenti sejenak.
“Untuk menyadari, kalau ada seseorang lain yang siap membantu kamu. Kapanpun dan dimanapun kamu mau.” Ucap Rengga sembari menatap gadis di sampingnya itu. Seakan dia ingin memberi tau, bahwa dialah orangnya. Yang siap membantu Gina kapanpun dia mau. Gina hanya terdiam, disaat-saat seperti inilah penyakit tulalitnya kumat.
“Emh... Ga, sebelum kamu bikin aku mati gara-gara sport jantung. Mending kita pulang aja yuk sekarang...” Kata Gina dengan wajah dodolnya. Rengga tertawa, sambil mengiyakan ucapan Gina.
“Yuk Pulang...” Rengga menggandeng lembut tangan Gina. Di tengah kegelapan dirasakannya kedamaian saat tangan mungilnya tenggelam di tangan Rengga yg besar. Dan hanya keheningan yang tau. Apa teriakan hati mereka kala itu...
>.<
Saat ini...
Gina masih saja Bengong di kursi teras rumahnya. Menggenggam erat gantungan kunci ditangannya, yang sebelahnya lagi milik Aji kenangan saat mereka masih jadian. Hatinya dilema sejak kejadian semalam. Entah mengapa ada keindahan lain yang menyentuh hatinya. Tanpa pikir panjang dilemparnya gantungan kunci itu keparit di depan rumahnya. Kali ini dia sangat yakin dengan keputusan ini.
“ Kenapa kamu buang?” Suara yang berasal dari depan pagar rumahnya membuat dia kaget. Gina menghampiri sosok itu. Tersenyum manja kepadanya.
“ Karna aku sudah belajar. Untuk nggak menatap kenangan Aji lagi. Karna aku.... selalu menemukan kamu dimanapun, dan kapanpun aku berpikir. Selalu kamu kamu kamu dan kamu. Hahahah” gelak tawa Gina menyebar di sudut-sudut gang. Rengga tersenyum, mendapati gadis yang dia sukai. Kini menyadari hal yang sangat mengganggu pikirannya. Bahwa Dia menyayangi Gina. Entah sejak kapan hal itu dimulai, namun dia yakin. Dan sangat yakin, bahwa mereka memang tercipta untuk saling menemukan. Karna keyakinan itu telah ada saat sandal mereka ketukar waktu liburan! Hingga saat ini, keyakinan itu telah berubah menjadi sebuah kepastian.
By: d’starholic