Kamu sudah memiliki hatiku tanpa berusaha, tetapi itu tidak
cukup untuk membuatnya bertahan.
Seperti senja yang kebingungan, apakah dia sore atau malam.
Seperti mendung yang enggan untuk menjatuhkan airnya karena
betah di atas langit.
Seperti itulah kita yang pada akhirnya menamai itu senja, itu
gerimis.
Namun ada kalanya jiwa resah.
Mulai bertanya ia: ‘mengapa tidak malam saja? Lalu mari kita
membuat cahaya, yaitu dari kedua hati kita dan menamainya pengharapan’
‘Lebih baik hujan saja yang deras! Biar lebur semua yang kita
sebut masa lalu dan menggantinya dengan pelangi masa depan.’
Jiwa menantikan jawaban, namun tak kunjung datang.
Kemudian ia menerka…
Mungkin kamu memang malamku, tapi bukan pagiku, bukan pagi
dimana aku dapat melihat bagaimana sinar mentari itu dan memulai langkah baru.
Mungkin kamu memang hujanku, tapi kamu bukan pelangiku, kamu ada
untuk membuatnya nyata saja. Suatu tahap
dimana aku bisa menemuinya, apa yang dikatakan cinta sejati. Aku perlu berani
untuk mengakuinya, mungkin benar-benar bukan dirimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar